Atas
tulisan Florence di media sosial, LSM Jangan Khianati Suara Rakyat (Jatisura)
mempolisikannya. Ia pun dimasukkan dalam sel tahanan Polda DIY pada Sabtu, 30
Agustus 2014, sekitar pukul 17.00 WIB. Florence ditahan karena dianggap tak
kooperatif dengan petugas kepolisian yang memeriksanya.
Andi
menilai penahanan Florence justru menjadi bentuk pembunuhan demokrasi. Dia
khawatir tindakan Polda DIY Yogyakarta justru menjadi yurisprudensi bagi aparat
hukum lainnya untuk menahan orang-orang yang menyampaikan pendapat berbeda di
media sosial.
Dosen
hukum di Universitas Indonesia ini meminta masyarakat lebih terbuka dan lebih
bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat. Masyarakat juga tak perlu terpancing
dengan pernyataan seseorang yang dinilai berbeda. "Kalau tidak suka dengan
orang atau pernyataannya, ya, tidak usah dibaca dan dikomentari."
Menurut
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Anny Pujiastuti, Florence secara resmi ditangkap
pada 29 Agustus kemarin pukul 17.00 WIB dan kemudian resmi ditahan pukul 17.00
WIB.
"Penangkapan
terhadap Florence Sihombing berdasarkan laporan polisi nomor
LP/644/VIII/2014/DIY/SPKT tanggal 28 Agustus 2014. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan di ditreskrimsus Polda," kata Anny pada wartawan di Polda DIY,
Sabtu (30/08).
Pasal
yang dikenakan kepada Florence dalam UU ITE yaitu pasal 27 ayat 3 jo pasal 45
ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 UU ITE no 11 Tahun 2008. Sementara
untuk KUHP Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.
Sementara
itu, Komite Etik FAKULTAS Hukum Gadjah Mada (UGM) pada 8 September lalu
menjatuhkan sanksi skorsing satu semester kepada Florece Sihombing. Sedangkan
Kepala Bidang Humas UGM Wiwit Wijayanti berharap sanksi tersebut bisa memberi
waktu kepada Florence untuk belajar menata diri, dan bersikap lebih sesuai etika.
Namun
ada beberapa pakar yang tidak setuju dengan pasal yang telah dijerat oleh
Florence. Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, penahanan Florence Sihombing
oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan KUHAP dan prosedur
penahanan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, penahanan seharusnya dilakukan untuk
kepentingan penyidikan dengan syarat terhadap seseorang tersangka atau terdakwa
dengan bukti yang cukup. Selanjutnya, kata Alex, berdasarkan Pasal 43
ayat (6) UU ITE, dalam melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui
penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam
waktu 1 x 24 jam.
"Koalisi
menilai bahwa ada kemungkinan justru polisi tidak mengikuti prosedur
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, polisi langsung melakukan
penahanan tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk kasus-kasus yang
dijerat UU ITE."
Dari
adanya kasus Florence ini, menuai banyak kontroversi. Koordinator Forum Korban
UU ITE, Mahendra mengatakan, beberapa kasus menyangkut permasalahan UU ITE,
selalu saja terkesan dipaksakan. Pihaknya berharap agar pemerintah mencabut nya
karena undang-undang ini menjadi salah satu senjata untuk memberangus
kemerdekaan berpendapat masyarakat kecil.
“Seringkali
UU ITE ini digunakan oleh para pengusaha dan politikus untuk memenjarakan
masyarakat kecil yang menentangnya. Sehingga UU ITE harus segera
dicabut,”tandasnya.
Menurutnya,
di era demokrasi seperti saat ini, sudah tidak ada lagi pemebrangusan kebebasan
berpendapat dengan penyalahgunaan ITE tersebut. Seharusnya setiap argumentasi
harus dijawab dengan argumentasi ilmiah. Namun yang terjadi justru argumentasi
dibalas dengan tuntutan, alasannya pencemaran nama baik.
Menteri
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara berjanji akan merevisi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) khususnya pasal 27
ayat 3. Karena selama ini dinilai kontroversi bagi masyarakat, terutama terkait
dengan sanksi, seperti yang pernah terjadi di DIY dalam kasus Florence dan juga
Ervani Handayani.